Edukasi daring santer mengemuka sejak ditetapkannya pandemi COVID-19 di Indonesia. Hal ini menjadi keniscayaan manakala sekolah dari level terkecil PAUD/TK, SD,SMP,SMA hingga Perguruan Tinggi dilarang menggelar edukasi tatap muka karena menjadi prioritas terdepan untuk dilakukan langkah-langkah pencegahan semakin meluasnya virus tersebut. Memasuki tahun ajaran baru 2020/2021, proses edukasi daring masih berlanjut.
Edukasi daring (dalam jaringan) atau juga dikenal dengan online learning adalah pembelajaran jarak jauh dengan menggunakan perangkat komputer atau gadget yang terhubung dengan internet di mana pengajar dan siswa berkomunikasi secara interaktif dengan memanfaatkan media komunikasi dan informasi. Dalam prakteknya dapat menggunakan semisal Whatsapp group, Google classroom, Edmodo, Jitsi meet, streamyard, OBS, Youtube, Explee, Camtasia, dan sebagainya. Salah satu sisi positif pandemi ini adalah mampu mengakselerasi pendidikan 4.0. Sistem pembelajaran dilakukan secara daring dengan memanfaatkan teknologi informasi. Siswa semakin dituntut belajar lebih, dan juga pendidik dari tingkat dasar hingga profesor dipastikan akan kembali dan terus belajar. Falsafah belajar sepanjang hayat (lifelong learning) tergambarkan dalam momentum ini.
Dikutip dari laman www.ugm.ac.id, Guru besar University of Applied Science and Arts, Hannover, Germany and Senior Experten Services (SES) Germany, Prof. Dr. Gerhad Fortwengel, menyebutkan wabah corona ini justru menjadi katalis hebat yang memacu dunia pendidikan. Seperti mendorong lebih banyak pemanfaatan teknologi informasi dalam aktivitas edukasi daring. Bagaimana siswa merespon edukasi daring? Dilansir dari survei yang dilakukan oleh Kemendikbud terhadap 230 ribu mahasiswa yang tersebar di 32 provinsi pada akhir Maret 2020, sebanyak 90 persen mahasiswa menyatakan lebih menyukai kuliah langsung (tatap muka) dibandingkan kuliah daring. Yang mengatakan lebih suka daring tentunya mereka yang memang sudah siap secara teknologi dan sarana-prasarananya.
Jika level
perguruan tinggi sedemikian halnya, bagaimana dengan level sekolah menengah
hingga pendidikan dasar? Hal ini juga menjadi cerminan kesiapan pendidikan 4.0.
Dalam implementasi edukasi daring, peran orang tua/wali murid jelas bertambah besar terlebih untuk jenjang
pendidikan dasar dan PAUD. Orang tua/ wali murid yang familiar terhadap
perangkat TI jelas menjadi katalisator bagi keberhasilan edukasi daring, jika
yang ada sebaliknya maka hal ini yang harus menjadi perhatian pemerintah karena
bisa jadi berdampak makin terpuruknya keluarga tersebut di masa yang akan datang.
Data Statistik Pendidikan Indonesia 2019 yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik menyebutkan bahwa di Indonesia, persentase siswa umur 5-24 tahun yang biasa mengakses internet tak lebih dari 54 persen, yang berarti dari 100 siswa tersebut jika dipilih secara acak, didapatkan hanya sekitar 54 siswa yang biasa mengakses internet, dan 46 siswa lainnya tidak. Dilihat dari struktur wilayahnya, siswa di perkotaan yang mengakses internet mendekati 63 persen, lebih tinggi dibanding siswa di pedesaan yang persentasenya kurang dari 41 persen. Wilayah pedesaan harus menjadi prioritas dalam merumuskan kebijakan yang tepat dan detail secara teknis.
Dilihat dari jenis
kelaminnya, persentase siswa yang biasa mengakses internet untuk anak perempuan
tergolong lebih besar yaitu sekitar 54 persen dibandingkan dengan anak
laki-laki yang persentasenya tak kurang dari 52 persen. Dilihat dari tingkat
pendidikannya yang biasa mengakses internet, persentase siswa SD sederajat
hanya sebesar 26,71 persen, siswa SMP
sederajat 69,18 persen, siswa SMA sederajat 88,72 persen, dan mahasiswa
Perguruan Tinggi 95,48 persen.Tergambarkan
disini bahwa siswa SMA sederajat dan PT seharusnya siap untuk edukasi daring
sedangkan SMP sederajat perlu asistensi melekat dalam implementasinya dan SD
sederajat diperlukan kajian detail dan mendalam.
Dari
rilis data yang sama, semua kondisi pendidikan di Bali selalu diatas rata-rata
nasional. Tercatat bahwa di Bali, persentase
siswa umur 5-24 tahun yang biasa mengakses internet sebesar 64,45 persen,
posisinya hanya di bawah DI Yogyakarta sebesar 76,11 persen, dan DKI Jakarta
sebesar 66,39 persen . Siswa Bali di perkotaan yang mengakses internet sebesar 68,49
persen, sedangkan di pedesaan sebesar 54,83 persen. Tetap saja wilayah pedesaan
menjadi prioritas dalam merumuskan kebijakan yang tepat dan detail secara
teknis. Untuk persentase siswa laki-laki yang biasa mengakses internet sebesar 64,81
persen, hampir sama dibandingkan dengan anak perempuan yang sebesar 64,06
persen. Persentase siswa SD sederajat di Bali yang biasa mengakses internet
tetap rendah sebesar 34,50 persen, siswa
SMP sederajat cukup tinggi sebesar 84,38 persen, hanya di bawah DKI Jakarta
(82,73 persen),dan DI Yogyakarta (92,26 persen), siswa SMA sederajat 95,75
persen, dan mahasiswa Perguruan Tinggi 96,37
persen. Dari ukuran ini, semestinya sekolah SMP sederajat ke atas siap dan
mampu untuk edukasi daring di Bali.
Potret lainnya yang dapat mencerminkan seberapa dering edukasi daring di Indonesia dapat nyaring berbunyi dengan kata lain berhasil atau setidaknya berjalan secara optimal, dapat dilihat juga dari indikator perkembangan suatu negara atau wilayah menuju masyarakat informasi, yang tersaji dalam Indeks Pembangunan Teknologi, Informasi, dan Komunikasi (IP-TIK)/ ICT Development Index. IP-TIK menggambarkan pembangunan TIK di Indonesia serta 34 provinsi di Indonesia yang tersusun atas 11 indikator yang terbagi dalam tiga subindeks yaitu akses dan infrastruktur, penggunaan, dan keahlian.
IP-TIK Indonesia yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik akhir tahun
2019 tercatat mengalami kenaikan dari tahun ke tahun. Dengan skala 0-10, pada
tahun 2017, IP-TIK Indonesia sebesar 4,96 sedangkan tahun 2018 naik menjadi 5,07.
Sub-subindeks IP-TIK Tahun 2018 berpola serupa dengan
tahun 2017, dengan nilai subindeks
tertinggi adalah keahlian sebesar
5,76, diikuti akses dan
infrastruktur sebesar 5,34
dan penggunaan sebesar 4,45. Dilihat dari pertumbuhannya tahun 2018,
IP-TIK Indonesia tumbuh 2,23 persen, dengan subindeks akses dan infrastruktur
mampu tumbuh 5,05 persen, subindeks penggunaan 0,35 persen, dan subindeks
keahlian tumbuh 0,17 persen. Komparasi IP-TIK negara-negara di dunia
menempatkan Indonesia di posisi ke-111 dari total 176 negara pada tahun 2016.
Lima besar IP-TIK dunia tahun 2016 adalah Islandia, Korea Selatan, Swiss,
Denmark, dan Inggris. Di Asia Tenggara, IP-TIK Indonesia masih di bawah
Singapura (18), Brunei Darusalam (53), Malaysia (63), Thailand (78), Filipina
(101), dan Vietnam (108). Hal ini menjadi cerminan seperti apa pembangunan TIK
Indonesia dalam menopang edukasi daring dan seberapa kompetitif lulusannya di
kancah global. IP-TIK Bali menempati posisi ketiga di antara 34 provinsi dengan
skor 6,23, hanya sedikit tertinggal dari DI Yogyakarta ( 6,66), dan DKI Jakarta
(7,14). Jika dilihat lebih dalam subindeks IP-TIK di Bali, tercatat subindeks akses
dan infrastruktur sebesar 7,22; subindeks penggunaan 5,23, dan subindeks
keahlian (6,23). Dengan catatan ini, keberhasilan implementasi edukasi daring
di Bali sudah seharusnya bersaing di papan atas provinsi-provinsi di Indonesia.
Untuk
menggapai keberhasilan edukasi daring di semua wilayah dan jenjang pendidikan
di Indonesia diperlukan komitmen kuat dari semua stakeholder. Dapat disebutkan beberapa catatan demi asa
keberhasilan edukasi daring di masa pandemi ini sebagaimana disampaikan oleh Nadia
Fairuza Azzahra, peneliti dari Center for
Indonesian Policy Studies (CIPS). Pertama,
harus ada strategi edukasi daring yang menyesuaikan dengan karakteristik daerah
dan kondisi sosial ekonomi siswa disekolah yang bersangkutan. Dalam hal ini sekolah
harus punya inisiatif menemukan media yang seusai bagi siswanya. Untuk karakteristik
khusus manakala
ada hambatan pulsa, gawai, internet dan juga guru tak bisa mengintegrasikan
edukasi daring, perlu ada pertimbangan media lain selain TV dan internet, ada pilihan luar jaringan (luring)
seperti layanan pos yang bekerjasama dengan sekolah berupa pengiriman hardcopy modul atau worksheet dari sekolah ke siswa masing-masing dengan asistensi
pemerintah daerah setempat. Kedua, adanya
peran aktif pemerintah/pemda dalam menyediakan bantuan kepada sekolah, guru dan
siswa untuk mendukung edukasi daring. Bersyukur bahwa Mendikbud Nadiem Makarim, telah mengeluarkan Permendikbud
No. 25 tahun 2020 tentang kebijakan keringanan pembayaran uang kuliah bagi
mahasiswa yang terdampak COVID-19 dengan berbagai skema dan syarat yang harus
dipenuhi baik PTN maupun PTS. Ketiga,
adanya pengawasan mekanisme pencairan dana BOS yang digunakan untuk pelaksanaan
edukasi daring ( pembelian kuota internet dan pulsa bagi guru dan siswa). Keempat, memberikan otonomi yang lebih
luas kepada kepala sekolah. Kelima, meningkatkan
kapasitas guru dalam melaksanakan edukasi daring. Keenam, pemerintah menyediakan fasilitas dan infrastruktur yang
mendukung proses edukasi daring.
Hal-hal lain yang perlu menjadi perhatian pemerintah/pemda, jika nantinya pandemi ini segera berakhir adalah sekolah di daerah maju akan menuju “new normal” sedangkan sekolah di daerah tertinggal akan tetap “normal” sehingga gap antara daerah maju dan tertinggal makin lebar. Kementerian lembaga/pemda dapat merumuskan kembali kurikulum dan konten digital. Pada dunia usaha dan industri perlu ada timbal balik dari perusahaan telekomunikasi untuk membuka akses yang seluas luasnya pada sekolah untuk tidak dibebani biaya pulsa yang begitu besar, atau model lainnya karena selama pandemi anggaran yang terserap ke informasi dan komunikasi cukup besar.
Di Bali, hal ini dapat dilihat bahwa dari sisi lapangan usaha, ekonomi Bali triwulan I 2020 jika dibandingkan triwulan I 2019 (y-on-y) terkontraksi sebesar -1,14 persen, dengan sektor informasi dan komunikasi mampu mengerem lebih dalam kontraksi pertumbuhan dengan tumbuh sebesar 7,41 persen dan memberikan kontribusi sebesar 5,76 persen dari total PDRB Bali. Secara q-to-q (dibandingkan dengan triwulan sebelumnya), ekonomi Bali triwulan I-2020 juga mencatatkan angka pertumbuhan yang negatif, yaitu sebesar -7,67 persen dan dari 17 lapangan usaha, 13 mengalami kontraksi dengan tumbuh negatif, sedangkan sisanya mampu tumbuh positif yaitu lapangan usaha informasi dan komunikasi (0,94 persen), Jasa Keuangan dan asuransi (1,21 persen), dan Jasa kesehatan dan kegiatan sosial (1,52 persen).
Akselerasi realisasi APBN/APBD dalam situasi saat ini sangat penting agar uang dapat beredar di masyarakat sehingga konsumsi rumah tangga terutama dalam menopang program edukasi daring ini terjaga. Di Bali, disadari bahwa PDRB dari sisi pengeluaran triwulan I 2020, kembali komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga yang berkontribusi tak kurang dari 51 persen dari total PDRB Bali, menjadi penolong pertumbuhan ekonomi bali dengan tumbuh positif sebesar 2,90 persen (y o y) sedangkan komponen PDRB pengeluaran lainnya semua terkontraksi tumbuh negatif. Berbagai langkah extraordinary dalam mendukung edukasi daring saat pandemi ini mesti dilakukan, selaras dengan instruksi Presiden Republik Indonesia demi berkibarnya Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar