Sejak kasus positif COVID-19 di Indonesia pertama kali teridentifikasi pada awal bulan Maret 2020, pandemi sudah menyebar ke 34 provinsi di Indonesia dengan Jawa Timur, DKI Jakarta, dan Sulawesi Selatan sebagai provinsi paling terpapar. Jumlah akumulasi kasus COVID-19 di Bali, merujuk press release Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Provinsi Bali tanggal 08 Juli 2020, sudah menyentuh angka 1.971 orang atau mendekati tiga persen dari total kasus di Indonesia. Hampir lima bulan berlalu, belum bisa dipastikan COVID-19 ini akan berakhir. Selama itu pula telah berdampak negatif hampir seluruh sektor kehidupan baik sektor politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, dan lain sebagainya. Dalam sektor ekonomi di Bali, pariwisata terpuruk, penyediaan akomodasi dan makan minum jatuh, transportasi nyaris berhenti dan tak sedikit tenaga kerja mengalami Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Banyak aktivitas yang kemudian hanya bisa dilakukan di rumah dan lingkungan terdekat saja, termasuk bekerja. Hal ini mesti dilakukan di tengah pemenuhan kebutuhan hidup harus tercukupi setiap harinya, dan pada saat yang sama cenderung konsumsi rumah tangga mengalami peningkatan.
Tuntutan harus tetap produktif meskipun di rumah membuat tak sedikit orang melirik kembali sektor pertanian yang bisa di optimalkan.Berbicara tentang pertanian Bali, berarti memberi perhatian sebanyak 458.430 orang atau 18,88 persen penduduk Bali yang bekerja dan menggantungkan hidupnya pada lapangan usaha pertanian, yang merupakan jumlah pekerja terbesar kedua setelah lapangan usaha perdagangan (19,43%) dari total penduduk Bali yang bekerja usia 15 tahun ke atas. Demikian data ketenagakerjaan Agustus 2019 yang dirilis Badan Pusat Statistik Provinsi Bali. Ditilik lebih lanjut, lapangan usaha pertanian Bali berkontribusi sekitar 13,67 persen terhadap nilai tambah PDRB Provinsi Bali sepanjang triwulan I 2020. Kontribusi ini merupakan terbesar kedua setelah lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum yang lekat dan menjadi domain pariwisata Bali yaitu sebesar 21,81 persen. Oleh karena itu, sudah semestinya lapangan usaha pertanian mendapat perhatian lebih, selain menjadi sumber kehidupan dan penghidupan juga mejadi backbone eksistensi pariwisata Bali sejak berpuluh tahun yang lalu.
Pokok permasalahannya, dalam satu dekade
terakhir, kontribusi lapangan usaha pertanian mempunyai trend menurun. Fakta lainnya menyatakan bahwa persentase pendapatan
kelompok penduduk 40 persen terbawah
sebagian besar berada dalam lapangan usaha pertanian. Menjadi sebuah tantangan
bagi pemerintah sebagai pengemban dan pengambil kebijakan, mampukah menggugah minat penduduk bertani sehingga
kontribusi pertanian bisa kembali seperti pada satu dekade sebelumnya yang
hampir mendekati 20 persen. Patut dipancangkan optimisme kuat untuk menggapai
ini dengan pendekatan kebijakan yang adaptif dan inovatif, disertai dengan sentuhan
teknologi yang tepat. Selain itu, diperlukan peningkatan soft skills petani Bali yang maju, inovatif, dan terbarukan
sehingga tak mustahil kilau terang pertanian Bali mampu kembali bangkit. Jika
menjadi kenyataan, efek dominonya adalah pertanian menjadi penunjang kuat dan utama
pariwisata Bali dan transportasi dan pergudangan ikut bergerak dan akhirnya secara
umum akan mampu mengerek pertumbuhan ekonomi Bali.
Perspektif upaya memajukan pertanian Bali harus selalu di dukung dan ditumbuhkembangkan. Tidak mudah memang, karena fakta perkembangan pertanian Bali kian menurun. Merujuk data jumlah rumah tangga usaha pertanian hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) tahun 2018 oleh BPS, tercatat di Bali ada 388.456 rumah tangga usaha pertanian dan jumlah ini mengalami penurunan sebanyak 19.777 rumah tangga dibanding data hasil Sensus Pertanian 2013, dan jika dibandingkan dengan data hasil Sensus Pertanian 2003 berkurang sebanyak 103.938 rumah tangga. Data SUTAS2018 juga mencatat hanya sekitar 8,41 persen pemuda berusia dibawah 35 tahun yang masih berminat menjadi petani atau hampir tidak ada anak petani yang ingin menjadi petani. Sebanyak 91,59 persen pemuda di bawah 35 tahun lainnya tergiring ke arah perdagangan, hotel, dan pariwisata, industrialisasi, ataupun lainnya. Fakta lain menunjukkan bahwa di antara petani Bali tersebut di atas, sekitar 68,49 % berusia di atas 45 tahun.
Kondisi seperti ini dapat ditarik benang merahnya bahwa benar saat
ini adalah saat yang krusial dalam regenerasi petani di tengah minimnya minat
generasi muda untuk menjadi petani dan semakin sempitnya lahan pertanian. Riset
Koalisi Rakyat untuk Kedaulatan Pangan (KRKP) pada 2015 yang mengangkat topik
tentang regenerasi petani mengungkap bahwa salah satu faktor generasi muda terasing
dari dunia pertanian adalah mereka mendapat informasi tentang pertanian secara
otodidak. Hal ini berdampak pada keinginan yang rendah menjadi petani
dipengaruhi persepsi yang kurang baik terhadap situasi sektor pertanian saat
ini. Regenerasi saat ini menjadi teramat penting dalam menjaga keberlanjutan
pertanian, karena petani muda sangatlah mungkin menjadi produsen yang lebih
produktif dan adaptif terhadap perkembangan zaman dan juga perkembangan
kebutuhan. Perlu disadari bahwa permintaan komoditas pertanian semakin meningkat
seiring meningkatnya jumlah penduduk di Bali. Harapan kepada petani muda nantinya
adalah tidak hanya anak-anak muda yang menjadi petani tetapi sosok-sosok muda
ini membawa perubahan dan perbaikan di dalam sektor agrobisnis di Bali.
Upaya menggugah dan membangkitkan penduduk bertani khususnya di masa pandemi saat ini dapat dilakukan dengan pembentukan dan penguatan kelompok tani yang terdiri dari para pemuda yang mau membangun ekosistem tani dengan harapan bisa memutus mata rantai tengkulak dan mengurangi jumlah urbanisasi. Penguatan kelompok tani dapat dilakukan dengan bermitra dengan beberapa kelompok tani lain atau dengan membentuk desa tani yang nantinya mampu mencover permintaan konsumen. Pembentukan desa tani dimungkinkan dengan konsep penyewaan lahan bagi petani ataupun pengelolaan lahan dengan prinsip profit sharing dengan manajemen yang baik, yang mampu memperhitungkan penyiapan pupuk hingga panen yang terjamin, serta di dalamnya mampu terakumulasi modal dan proses pemasaran.
Terbangunnya organisasi kelompok tani ataupun desa tani ini diharapkan juga dapat menerapkan konsep zero waste terhadap produksi berbagai komoditas pertanian. Misalnya komoditas sayuran yang tak layak jual bisa digunakan pakan ternak dan kotoran ternaknya dapat digunakan sebagai pupuk organik, dan sebagainya. Pemasaran produksi pertanian dapat di ekspor, ataupun dipasarkan di swalayan dan supermarket serta seiring pelaksanaan new normal dapat kembali menyasar hotel dan restoran, karena Bali terdapat begitu banyak hotel. Bersyukur bahwa pemerintah Provinsi Bali telah mengeluarkan Pergub No 99 tahun 2018 tentang pemasaran dan pemanfaatan produk pertanian,perikanan dan industri lokal Bali yang salah satunya mengatur bahwa toko swalayan wajib membeli dan menjual produk pertanian, perikanan dan industri lokal Bali dalam kegiatan usahanya. Hotel, restoran, katering dan toko swalayan wajib membeli produk pertanian lokal Bali dengan harga paling sedikit 20% (dua puluh persen) di atas biaya produksi dari petani, kelompok tani, subak dan pelaku usaha tani.
Pengawasan terhadap pelaksanaan
pergub ini perlu menjadi perhatian demi bangkitnya usaha pertanian. Berbagai inovasi
dapat dilakukan, misalnya dengan pemasaran online
yang mengharuskan bekerja sama dengan perusahaan online. Penguatan pemasaran secara business to business (B2B) menjadi prioritas untuk dilakukan.
Terkait permasalahan lahan, tidak mengapa tidak punya lahan sendiri tapi usaha
pertanian dapat dilakukan dengan sewa lahan dengan manajemen yang baik. Jika dipahami betul proses ini dan mampu
berhasil, tentunya serangan komoditas pertanian dari luar negeri atau impor
yang seringkali menyebabkan amarah anak negeri, tidak akan terjadi lagi.
Berdasar data hasil survei Sakernas Agustus 2019, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) Bali sebesar 1,52%, angka ini lebih tinggi dibandingkan Agustus 2018 dengan persentase sebesar 1,37%. Dalam satu dekade terakhir, rata-rata TPT Bali sebesar 2,17 persen per tahun. Sebuah angka yang tentunya perlu menjadi perhatian pemerintah dan dimungkinkan jika pemerintah dapat memanfaatkan mereka untuk didorong kembali ke pertanian. Menurut pengamat ekonomi, Ahmad Erani Yustika, benar bahwa sejak 20 tahun terakhir sektor pertanian menurun. Namun menurutnya, hal ini tidak hanya berdampak negatif namun juga positif. Sisi positifnya adalah ruang efisiensi sektor pertanian lebih besar. Hal ini tercermin dalam keberadaan pengangguran tersembunyi. Semisal selama ini satu hektar lahan semestinya cukup dikerjakan oleh sebanyak 10 pekerja, namun faktanya lebih dari itu. Sehingga jumlah pasti pekerja dapat dideteksi. Sisi negatifnya tentu bahwa penurunan jumlah pelaku pertanian tak terlepas dari fakta insentif pertanian menurun sehingga kurang diminati. Pendekatan pembangunan sektor pertanian harus dilakukan dengan cara dan pola baru sehingga insentifnya menjadi lebih besar.
Gambaran untuk mendapatkan insentif yang lebih besar adalah imajinasi bahwa petani hanya menanam di sawah perlu diperluas dengan lebih dikembangkan dalam kegiatan pasca panen yang jumlahnya banyak. Kegiatan pasca panen bisa dari proses pengolahan dan pengemasan, sehingga bakal mendapat insentif baru yang bisa jadi lebih menarik. Guna menggugah dan menggairahkan pertanian, petani seyogyanya mempunyai organisasi yang mapan, terlibat dalam koperasi tani maupun Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). Dengan keterlibatan petani disana, dimungkinkan sumber daya manusia dapat digerakkan, teknologi yang mendukung dapat terbangun, sistem informasi dan digitalisasi pertanian teraplikasi, dan terbangun manajemen pertanian yang mengikuti perubahan jaman. Pemerintah diharapkan senantiasa terus membangun ekosistem tani untuk memberi rangsangan minat bertani terutama di masa pandemi saat ini. Pemerintah perlu mendorong agar pemuda mau mengembangkan pertanian dan desa masing-masing. Insentif khusus mulai dari akses lahan, bibit, teknologi hingga pasar menjadi kewajiban pemerintah untuk menyediakannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar