Dibalik tumbuh dan
berkembangnya karakteristik seorang anak, mulai dari pertumbuhan fisik anak
usia dini, pengembangan kepribadian anak usia sekolah, sampai didapatkan masa
pubertas anak remaja, terkandung aset bangsa yang sangat berharga. Mereka adalah penerus dan penentu masa depan.
Setiap potensi baik anak, sudah seharusnya tidak dilumpuhkan. Karena diusianya,
mereka mau dan mampu menyerap apa saja. Oleh karenanya, mengawal dan menjaga
potensi baik anak merupakan hal terpenting. Setidaknya memberikan pemenuhan
kebutuhan dasar seorang anak harus menjadi sebuah kewajiban atau setidaknya
merupakan prioritas. Ketimpangan kesempatan anak terhadap kebutuhan dasarnya
tentu saja akan menghambat hadirnya masa depan cerah suatu bangsa.
Menilik hasil Sensus Penduduk
2020, tercatat ada sekitar 80 juta anak Indonesia. Anak adalah setiap
manusia yang berusia
di bawah 18 (delapan
belas) tahun dan
belum menikah, termasuk anak yang
masih dalam kandungan. Definisi ini merujuk pada Undang-Undang
Nomor 39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Jumlah anak Indonesia hampir sepertiga
populasi penduduk Indonesia. Jumlah yang terbilang besar dan jika dibandingkan
dengan negara di Asia Tenggara maka jumlahnya melebihi dari populasi penduduk negara
Malaysia, Myanmar, Thailand, dan hanya lebih kecil dari Vietnam dan Filipina.
Dengan kondisi geografisnya, Indonesia
belum bisa terhindar dari berbagai bencana alam. Beberapa daerah di Indonesia
masih terjadi tanah longsor, tsunami, gempa bumi, gunung meletus, banjir, kekeringan,
kebakaran hutan, angin puting beliung, dan lain-lain. Kejadian bencana alam
tentu dapat berdampak signifikan terhadap kondisi anak. Menjadi tantangan yang berat
bagi tiap orang tua, keluarga, bangsa, dan negara dalam menyediakan kesempatan
kepada tiap anak agar dapat memanfaatkan akses kebutuhan dasarnya.
Penyediaan dan peningkatkan akses
kebutuhan dasar bagi masyarakat Indonesia, seperti
pendidikan, kesehatan, gizi,
keamanan, dan infrastruktur dasar
lainnya, selalu diupayakan oleh pemerintah. Namun demikian, tidak semua
masyarakat Indonesia berkesempatan
yang sama dalam mengaksesnya. Diantaranya,
masih terdapat ketimpangan kesempatan anak terhadap akses kebutuhan dasarnya. Hal
ini menunjukkan adanya faktor-faktor penghambat seseorang anak untuk
dapat memanfaatkan kesempatan
yang tersedia.
World
Bank telah mengembangkan Human
Opportunity Index (HOI) untuk mengukur keberadaan individu di
suatu negara yang
belum memiliki akses
terhadap kebutuhan dasar
hidup mereka. Metode ini mengukur
rata-rata ketersediaan (coverage) kebutuhan
dasar tertentu dengan memperhatikan tingkat kemerataan distribusi
layanan tersebut pada masyarakat, yang disebabkan
oleh keadaan sosial, ekonomi, dan demografi individu. Peningkatan
coverage pelayanan
dasar akan meningkatkan
kesempatan yang tersedia dan secara otomatis ketimpangan kesempatan akan menurun.
Ketimpangan
Akses Pendidikan Anak
Pendidikan
dasar dan pendidikan menengah merupakan kebutuhan dasar dan esensial bagi anak.
Harus disadari bahwa pendidikan mampu memutus lingkaran ketimpangan yang
berujung pada kemiskinan. Berdasarkan kajian ketimpangan kesempatan anak
terhadap pelayanan kebutuhan dasar di Indonesia oleh BPS dan Kementerian
Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun 2019, rata-rata peluang akses anak (usia 7-15
tahun) berkesempatan mengikuti pendidikan dasar (SD-SMP) pada rentang tahun
2016-2018 lebih dari 97 persen, dengan tren meningkat dari tahun ke tahun. Dalam
hal ini berarti kesempatan atas pendidikan dasar
di Indonesia dapat dibilang hampir merata dengan
ketimpangan yang rendah.
Berbeda
halnya untuk pendidikan menengah (SMA/Sederajat), kesempatan anak (usia 16-18
tahun) Indonesia berdasarkan prinsip kesetaraan baru sekitar 66
persen sampai dengan
68 persen sepanjang tahun
2016-2018. Realitasnya memang semakin
tinggi tingkat pendidikan, maka
tingkat partisipasi sekolah cenderung menurun. Keterbatasan fasilitas
infrastruktur penyelenggara pendidikan menengah, dan akses menuju fasilitas
pendidikan yang kurang mendukung merupakan beberapa pembedanya. Pencanangan
program wajib belajar 6 tahun sejak tanggal 2 mei 1984, yang dilanjutkan wajib belajar
9 tahun sejak tahun 1994, dan
wajib belajar 12 tahun sejak tahun 2015 harus tetap digelorakan dan dioptimalkan
dalam pelaksanaannya. Masih adanya ketimpangan ini, ke depan harus semakin
dikikis, terlebih pemerintah berkewajiban dalam mengalokasikan APBN untuk
bidang pendidikan sebesar 20 persen, dan juga keberadaan program lainnya seperti
adanya dana BOS untuk sekolah. Pangkal utama yang berpengaruh terhadap
ketimpangan kesempatan pendidikan di Indonesia adalah pendidikan kepala rumah
tangga. Hal ini diikuti oleh faktor pengeluaran
per kapita, dan daerah tempat tinggal rumah tangga. Peningkatan level
ketiga faktor yang melekat pada rumah tangga tersebut bakal mengikis keberadaan
ketimpangan akses pendidikan anak.
Ketimpangan
Akses Perumahan yang sehat Anak
Air minum
layak menjadi salah
satu komponen penting
dalam perkembangan dan pertumbuhan anak. Masih adanya rumah tangga yang
terbiasa mengonsumsi air minum tak layak, sama halnya dengan mengundang berbagai
penyakit masuk ke tubuhnya. Tentu saja hal ini tidak searah dengan salah satu tujuan
Sustainable Development
Goals (SDGs) yaitu menjamin ketersediaan serta
pengelolaan air bersih
dan sanitasi yang
berkelanjutan untuk semua.
Sepanjang
tahun 2016-2018, kesempatan anak untuk
mendapatkan akses air minum layak semakin terdistribusi merata,
meskipun belum mencapai harapan terbaik. Dengan
prinsip kesetaraan, peluang seorang anak
dapat mengakses air
minum layak di
tahun 2016 sebesar 64,77 persen, meningkat menjadi 68,30
persen pada tahun 2018. Faktor terbesar yang mempengaruhi ketimpangan
akses seorang anak terhadap air minum layak di Indonesia dari tahun ke tahun
adalah daerah tempat tinggal. Dalam perbandingannya, daerah tempat tinggal di perkotaan
lebih baik daripada di pedesaan. Faktor terbesar berikutnya adalah pengeluaran
per kapita dan pendidikan kepala rumah
tangga. Tersimpulkan secara sederhana, seorang anak yang tinggal
di daerah perkotaan,
berasal dari rumah
tangga dengan pengeluaran per
kapita tinggi serta
mempunyai kepala rumah
tangga yang berpendidikan tinggi
akan mempunyai kesempatan
lebih besar untuk
bisa mengakses air minum layak dibandingkan kondisi berkebalikannya.
Masih
terkait kebutuhan dasar berupa perumahan yang sehat, sanitasi yang layak
merupakan salah satu unsurnya. Sanitasi berhubungan dengan kesehatan lingkungan
yang mempengaruhi derajat
kesehatan masyarkat. Sanitasi
yang buruk akan berdampak negatif pada kehidupan
manusia, mulai dari menurunnya kualitas hidup
masyarakat, sumber air
minum yang tercemar,
hingga meningkatnya penyakit menular.
Masih
dalam kajian yang sama, akses sanitasi layak di Indonesia terlihat semakin
meningkat, sehingga ketimpangan aksesnya mengalami penurunan. Di tahun 2016, kesempatan
akses sanitasi layak sebesar 58,26 persen. Sedangkan di tahun 2017 dan
2018 meningkat dengan
nilai masing-masing sebesar
58,36 persen dan 60,69
persen. faktor terbesar yang mempengaruhi
akses seorang anak
terhadap sanitasi layak adalah faktor daerah tempat tinggal. Jika
dibandingakan dengan kesempatan anak untk mengakses air minum layak di
Indonesia, kemerataan akses sanitasi layak ternyata tidak lebih baik.
Unsur
perumahan sehat berikutnya adalah keberadaan
listrik yang mampu menggerakkan
akses pelayanan dasar lain seperti pendidikan, kesehatan, dan
transportasi. Keberadaan listrik sangat esensial saat ini karena bisa sebagai
penggerak perekonomian dan faktor penentu majunya suatu negara. Terdapat sekitar 97,13 persen
kesempatan akses listrik telah dialokasikan berdasarkan prinsip kesetaraan pada
tahun 2018, meningkat 1,63 persen dibandingkan tahun 2016. Daerah tempat
tinggal merupakan kontributor terbesar pada tahun 2018 yang menunjukkan adanya
ketimpangan kesempatan akses listrik.
Ketimpangan Akses Teknologi Dan Informasi Anak
Di
era digital saat ini dengan gaung populernya revolusi industri 4.0, teknologi dan
informasi seakan telah menahbiskan diri menjadi sebuah kebutuhan primer yang
memaksa harus dipenuhi. Terlebih untuk anak dalam menghadapai persaingan
global guna meraih cita-citanya. Kesannya semakin kuat dan cepat
manakala berada di tengah situasi pandemi Covid-19 yang melanda di Indonesia.
Dari aktivitas keseharian yang terbiasa bertatap muka langsung menjadi aktivitas
yang daring (online). Hal ini sebagai
bagian penyesuaian diri dalam tatanan kehidupan baru di tengah pandemi.
Ketersediaan kesempatan
yang sama dalam
mengakses teknologi dan
informasi bagi setiap anak saat ini menjadi prioritas. Terutama hal ini
dalam mendukung pembelajaran jarak jauh di sekolah. Adanya ketimpangan penggunaan
teknologi dan informasi berupa penggunaan komputer pada
anak merupakan permasalahan
yang kompleks. Pada tahun 2018, hanya
sekitar 18 persen kesempatan penggunaan akses PC/Laptop/Komputer telah
dialokasikan dengan prinsip kesetaraan. Pada waktu yang sama, baru sekitar 29
persen kesempatan terhadap akses internet telah dialokasikan dengan prinsip
kesetaraan. Ketimpangan kesempatan penggunaan akses PC/Laptop/Komputer lebih
besar daripada akses internet. Diketahui bahwa akses penggunaan PC/Laptop/Komputer
dan akses internet sangat dipengaruhi oleh faktor pengeluaran per kapita.
Dari
berbagai uraian perihal akses kebutuhan dasar anak di Indonesia di atas, dapat diketahui bahwa
ketimpangan kesempatan anak yang dominan adalah kesempatan
akses terhadap teknologi
dan informasi yang dalam hal ini
meliputi akses penggunaan laptop/komputer/pc dan internet. Hal ini tentu harus
menjadi perhatian utama. Secara umum, pembuat kebijakan dalam hal ini
pemerintah/pemerintah daerah harus berupaya memaksimumkan tingkat
akses rata-rata ketersediaan (coverage) tiap kebutuhan dasar anak dan meminimumkan
tingkat ketimpangan kesempatan. Pemerintah yang mampu
mengambil kebijakan yang
tepat dalam memberikan
pelayanan kebutuhan dasar untuk anak tentunya akan dapat menghantarkan
masyarakat yang adil dan makmur, dengan tingkat kesejahteraan yang merata.
Suprapto,S.Si.,M.Si
Penulis
adalah Statistisi, Pemerhati Sosial dan Ekonomi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar